Minggu, 06 November 2011

SOAL UTS INTERAKSI DAN STRATEGI BELAJAR MENGAJAR MATEMATIKA(SOAL7)


7.  Sebutkan dan jelaskan teori belajar aliran psikologi tingkah laku!

Tokoh-tokoh yang menjelaskan mengenai aliran psikologi tingkah laku adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

1. Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.

SOAL UTS INTERAKSI DAN STRATEGI BELAJAR MENGAJAR MATEMATIKA(SOAL4-6)

4.  Menurut anda apa saja masalah yang dihadapi dalam Pembelajaran matematika di sekolah, bagaimana cara menghadapinya?
Menurut saya, seperti kita ketahui sampai saat ini matematika adalah mata pelajaran yang paling menjadi momok, mata pelajaran yang paing banyak ditakuti oleh kebanyakan siswa. Tentunya ini menjadi masalah bagi kita para pendidik khususnya kita yang bergelut di pendidikan matematika. Tentunya ini menjadi suatu dilemma,masalah, dan  persolan bagi kita.
Disini kitalah yang berperan, bagaimana kita sebagai  pendidik disini bisa menghapus rumo itu. Kita ubah pemikiran-pemikiran kebanyakan siswa yang menanggap matematika itu sulit,tidak menyenangkan, bosan, bikin pusing, dsb. Menjadi pemikiran-pemikiran yang menyebutkan maatematika itu mudah dan menyenangkan.
Disini tugas kita sebagai pendidik bagaimana kita bisa  menempatkan diri kita sebagi guru matematika yang asyik dan menyenangkan, tidak ditakuti murid tapi justru disenangi oleh murid-murid. Karena sebagi seorang pendidik tentu kita pernah juga merasakan menjadi seorang  siswa, dimana kebanyakn seorang siswa itu menilai suatu pelajaran itu berdasarkan cara gurunya mengajar dan menyampaikan materi. Apabila sorang murid tidak menyenangi gurunya tentu ini akan berakibat ia juga tidak akan menyenagi mata pelajaran tersebut.
Selain itu sebagi pendidik kita juga harus pandai memilih, menempatkan  dan menggunakan metode dan model pembelajaran yang cocok dan tepat untuk diterapkan dalam pelajaran matematika dikelas, ini dapat kita gunakan sebagai salah satu cara dan upaya  untuk menghapus atau setidaknya merubah paradigma yang menganggap matematika itu sulit dan tidak menyenangkan .

5.  Jelaskan 4 Tahapan perkembangan kognitif dari individumenurut Piaget?
     
     Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:

1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
2. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)


1. Periode sensorimotor

Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:

a.       Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
b.      Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c.       Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d.      Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e.       Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
f.       Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

2. Tahapan praoperasional

Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.

Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.

3. Tahapan operasional konkrit

Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:

Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
\Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)

Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.

Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.

Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.

Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

4. Tahapan operasional formal
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit. 

6.   Apa perbedaan antara belar dan Pembelajaran, berikan satu contoh kasus belajar dan satu contoh kasus pemeblajaran.?
     
      belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan pengalamannya.Oleh sebab itu apabila setelah belajar peserta didik tidak ada perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa belajarnya belum sempurna.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan , penguasaan kemahiran dan tabiat , serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan , guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik.

SOAL UTS INTERAKSI DAN STRATEGI BELAJAR MENGAJAR MATEMATIKA(SOAL1-3)

1.       Jelaskan tujuan pendidikan yang pertama kali dikenalkan oleh Benjamin. S. Bloom serta proses kognitif yang diperkenalkannya!

Tujuan pendidikan yang pertama kali dikenalkan oleh Benjamin. S. Bloom  dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan), yaitu
a. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
b.Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
c. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Ketiga tujuan ini dikenal dengan Taksonomi Bloom yaitu taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan.
Dalam ranah atau Domain kognitif  Bloom  membagi  ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan  dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual

Bagian pertama, Yakni Pengetahuan (Knowledge)

Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik produk yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk, dsb.
Pada tahap ini seseorang dapat mengenali pengertian, definisi, gagasan, atau fakta- fakta dari istilah tertentu.
Pemahaman (Comprehension)
Pada tahap ini seseorang sudah memahami sesuatu seperti sebuah gambaran, diagram, grafik, laporan, peraturan dan lain- lain.

Bagian Kedua, Yakni Kemampuan dan Keterampilan Intelektual, Meliputi:

1.      Aplikasi (Application)

Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone diagram.

Tahap ini seseorang sudah dapat menerapkan pengertian, metode, rumus, ke aplikasi nyata.

2.      Analisis (Analysis)

Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan tingkat keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan.

 

3.      Sintesis (Synthesis)

Satu tingkat di atas analisa, seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas produk.
Pada tahap ini seseorang sudah dapat menjabarkan struktur dan informasi yang belum terlihat sehingga menemukan sebuah solusi dari persoalan.

4.      Evaluasi (Evaluation)

Dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dsb dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yg sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis, dsb
Pada tahap ini seseorang sudah dapat menjabarkan solusi yang dipersoalkan dan memilih solusi- solusi yang tepat.

2.   Jelaskan Karakteristik matematika sebagai ilmu yang terstruktur, dan sebutkan unsur-unsur dalam struktur matematika!
Matematika Adalah Ilmu Terstruktur
Matematika merupakan ilmu terstruktur yang terorganisasikan. Hal ini karena matematika dimulai dari unsur yang tidak didefinisikan, kemudian unsur yang didefinisikan ke aksioma / postulat dan akhirnya pada teorema. Konsep-konsep amtematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistimatis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Oleh karena itu untuk mempelajari matematika, konsep sebelumnya yang menjadi prasyarat, harus benar-benar dikuasai agar dapat memahami topik atau konsep selanjutnya. Dalam pembelajaran matematika guru seharusnya menyiapkan kondisi siswanya agar mampu menguasai konsep-konsep yang akan dipelajari mulai dari yang sederhana sampai yang
lebih kompleks.
Contoh seorang siswa yang akan mempelajari sebuah volume kerucut haruslah mempelajari mulai dari lingkaran, luas lingkaran, bangun ruang dan akhirnya volume kerucut. Untuk dapat mempelajari topik volume balok, maka siswa harus mempelajari rusuk / garis, titik sudut, sudut, bidang datar persegi dan persegi panjang, luas persegi dan persegi panjang, dan akhirnya volume balok.

Strruktur matematika adalah sebagai berikut :
a. Unsur-unsur yang tidak didefinisikan
Misal : titik, garis, lengkungan, bidang, bilangan dll. Unsur-unsur ini ada, tetapi kita tidak dapat mendefinisikannya.
b. Unsur-unsur yang didefinisikan
Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan maka terbentuk unsur-unsur yang didefinisikan.
Misal : sudut, persegi panjang, segitiga, balok, lengkungan tertutup sederhana, bilangan ganjil, pecahan desimal, FPB dan KPK dll.
c. Aksioma dan postulat
Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan dan unsur-unsur yang didefinisikan dapat dibuat asumsi-asumsi yang dikenal dengan aksioma atau postulat.
Misal :  ~ Melalui 2 titik sembarang hanya dapat dibuat sebuah garis.
~ Semua sudut siku-siku satu dengan lainnya sama besar.
~ Melalui sebuah titik hanya dapat dibuat sebuah garis yang tegak lurus ke sebuah garis yang lain.
~ Sebuah segitiga tumpul hanya mempunyai sebuah sudut yang lebih besar dari 900.
Aksioma tidak perlu dibuktikan kebenarannya tetapi dapat diterima kebenarannya berdasarkan pemikiran yang logis.
d. Dalil atau Teorema
Dari unsur-unsur yangtidak didefinisikan dan aksioma maka disusun teorema teorema atau dalil-dalil yang kebenarannya harus dibuktikan dengan cara deduktif.
Misal : ~ Jumlah 2 bilangan ganjil adalah genap
~ Jumlah ketiga sudut pada sebuah segitiga sama dengan 1800
~ Jumlah kuadrat sisi siku-siku pada sebuah segitiga siku-siku sama dengan Kuadrat sisi miringnya.
 
3.   Apakah definisi Aksioma, Postulat, Dalil, dam Teorema!
Aksioma adalah pendapat yang dijadikan pedoman dasar dan merupakan dalil pemula, sehingga kebenarannya tidak perlu dibuktikan lagi, atau suatu pernyataan yang diterima sebagai kebenaran dan bersifat umum tanpa memerlukan pembuktian 
postulat adalah pernyataan yang dibuat untuk mendukung sebuah teori tanpa dapat dibuktikan kebenarannya. Contohnya adalah postulat Einstein dalam relativitas khusus tentang kecepatan cahaya.
dalil adalah kebenaran yang diturunkan dari aksioma, sehingga kebenarannya perlu dibuktikan terlebih dahulu. 
teorema adalah sebuah pernyataan, sering dinyatakan dalam bahasa alami, yang dapat dibuktikan atas dasar asumsi yang dinyatakan secara eksplisit ataupun yang sebelumnya disetujui. Dalam logika, sebuah teorema adalah pernyataan dalam bahasa formal yang daat diturunkan dengan mengaplikasikan aturan inferensi dan aksioma dari sebuah sistem deduktif.


Jumat, 30 September 2011

MAKALAH INTERAKSI DAN STRATEGI BELAJAR MENGAJARA MATEMATIKA

LANJUTAN 
Model Pembelajaran Pilihan Untuk Diterapkan Di Sekolah Menengah
Karakterisristik Umum
Sebagaimana dikemukakan oleh Joyce dan Weill (1986), setiap model bealajar mengajar memiliki unsur – unsur sebagai berikut:
1. Sintaks,adalah tahap-tahap dari model itu.
2.Sistem sosial,adalah pengajar harus dengan sengaja memilih jenis kegiatan dan mengatur siswa dengan merancang kegiatan yang utuh dan padat mengenai sesuatu proses.  Karena itu, model ini termasuk model yang terstruktur.  Namun demikian, kerjasama antar peserta sangat diperhatikan.  Keberhasilan dari model ini tergantung pada kerjasama dan kemauan dari siswa untuk secara bersungguh-sungguh melaksanakan aktivitas ini.
3.Prinsip reaksi,adalah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana guru seharusnya melihat dan memperlakukan para pelajar, termasuk bagaimana seharusnya guru member respon terhadap mereka. Prinsip ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya para guru menggunakan aturan permainan yang berlaku pada setiap model.
4.Sistem pendukung, adalah segala sarana, bahuan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model tersebut.

Selanjutnya akan dikemukakan beberapa model belajar-mengajar, yang diperkirakan merupakan contoh model yang dipakai dalam pendidikan/pelatihan sosial.
1.    Model Pencapaian Konsep,
2.    Model Latihan Penelitian,
3.    Model Sinektik,
4.    Model Pertemuan Kelas,
5.    Model Investigasi Kelompok,
6.    Model Jurisprudential,
7.    Model Latihan Laboratoris,
8.    Model Pelatihan Ilmu Sosial,
9.    Model Kontrol Diri, dan
10.              Model belajar dari Simulasi.
Model Pencapaian Konsep,
Tujuan dan Asumsi
Setiap konsep memiliki empat elemen, yaitu:
a.    Nama,
Adalah istilah yang dipakai untuk sesuatu kategori benda, fenomena, makhluk hidup, atau pengalaman. Contohnya, sayur-mayur, binatang-binatang, manusia, pemerintah, penduduk, dan kerajaan.
b.    Contoh atau eksample,
Adalah gambaran atau bentuk nyata dari konsep itu. Bukan contoh atau non eksample, ialah gambaran atau benda nyata yang lain yang tidak sesuai dengan konsep itu. Contohnya, keluarga pak Haji Abdullah yang terdiri dari Haji Abdullah sebagai kepala keluarga, ibu Abdullahsebagai ibu rumah tangga, Suryadi dan Suryani putra/putrinya sebagai anggota keluarga merupakan contoh atau contoh positif dari konsep keluarga. Sedangkan Ahmad yang hidup sendirian adalah bukan contoh atau contoh negative dari konsep keluarga.
c.    Ciri-ciri atau atribut Esensial,
Adalah ciri-ciri yang utama memberikan gambaran sosok utuh suatu konsep. Misalnya, atribut esensial dari konsep keluarga adalah adanya orang tua ( ayah dan ibu atau salah satu untuk keluarga orang tua tunggal), dan tempat tinggal yang tetap.
d.   Ciri- ciri atau atribut  tidak esensial.
Adalah ciri-ciri lain yang melengkapi gambaran konsep, yang apabila ciri tidak terdapat dalam suatu contoh positif tidak mengurangi makna dari konsep itu. Misalnya, adanya anak bukan atribut esensial, karena banyak keluarga yang terdiri dari suami dan istri saja misalnya keluarga baru, atau keluarga senior, yang sekalipun memiliki anak, semua anaknya membentuk keluarga baru. Nilai atribut ialah kualitas dari masing-masing atribut. Misalnya, untuk contoh konsep keluarga, pendidik, mata pencahariaan , keadaan rumah, tingkat kesejahteraan dan usia perkawinan merupakan nilai dan atribut keluarga.

Sintaks
Model Pencapaian Konsep memiliki tiga (3) fase kegiatan sebagai berikut:
Fase pertama: Penyajian Data dan Identifikasi Konsep
1.    Guru menyajikan contoh yang sudah diberi label,
2.    Para pelajar membandingkan cirri-ciri dalam contoh positif dan contoh negatif.
3.    Para pelajar membuat dan mengetes hipotesis,
4.    Para pelajar membuat definisi tentang konsep atas dasar cirri-ciri utama/esensial.
Fase kedua: Mengetes Pencapaian Konsep
1.Para pelajar mengidentifikasikan tambahan contoh yang tidak diberi label dengan mengatakan ya ataui bukan,
2.Guru menegaskan hipotesis, nama konsep, dan menyatakan kembali definisi konsep sesuai dengan ciri-ciri yang esensial.
Fase ketiga: Menganalisis Berpikir
1.   Para pelajar mengungkapkan pemikirannya,
2.    Para pelajar mendiskusikan hipotesis dan ciri-ciri konsep, dan
3.    Para pelajar mendiskusikan tipe dan jumlah hipotesis.
(Joyce dan Weill, 1986:34)

Sistem Sosial
Model ini memiliki suktur moderat. Guru melakukan pengendalian terhadap aktivitas, tetapi dapat dikembangkan menjadi kegiatan dialog bebas dalam fase itu. Interaksi antara pelajar digalakan oleh guru. Dengan pengorganisasian kegiatan itu diharapkan para pelajar akan lebih dapat memperhatikan inisiatifnya untuk melakukan proses induktif bersamaan dengan bertambahnya pengalaman dalam melibatkan diri dalam kegiatan belajar mengajar.
Prinsip- prinsip Pengelolaan/Reaksi
1.    Berikan dukungan dengan menitikberatkan pada sifat hipotesis dari diskusi-diskusi yang berlangsung
2.    Berikan bantuan kepada para pelajar dalam mempertimbangkan hipotesis yang satu dengan lainnya
3.    Pusatkan perhatian para pelajar terhadap contoh-contoh yang spesivik,
4.   Berikan bantuan kepada para pelajar dalam mendiskusikan dan menilai strategi berfikir yang mereka pakai.

Sistem Pendukung
Sarana pendukung yang diperlukan berupa bahan-bahan dan data yang terpilih dan terorganisasikan dalam bentuk unit-unit yang berfungsi memberikan contoh-contoh. Bila para pelajar  sudah dapat berfikir semakin kompleks, mereka akan dapat bertukar pikiran dan berkerja sama dalam membuat unit-unit data, seperti yang dilakukan dalam fase dua pada saat mencari contoh-contoh lainnya.

Mdel Latihan Penelitian
Tujuan dan asumsi 
Latihan penelitian atau inquiry training bertolak dari kepercayaan bahwa perkembangan anak yang mandiri, menurut metode yang dapat memberi kemudahan bagi para pelajar untuk melibatkan diri dalam penelitian ilmiah. Anak-anak selalu memiliki rasa ingin, karena itu model latihan penelitian ini memperkuat dorongan alamiah untuk melalukan eksplorasi itu dengan semangat besar dan dengan peniuh kesungguhan. Dengan model ini Suchman, memili perhatian besar untuk membantu para pelajar untuk melakukan penelitian secara mandiri dengan cara yang berdisiplin. Yang diharapkan ialah pera pelajar dapat mempertanyakan, mengapa suatu peristiwa terjadi, dan menelitinya dengan cara mengumpulkan dan mengolah data secara logis.
Latihan penelitian dimulai dengan menyajikan situasi yang penuh pertanyaan. Dengan situasi yang penuh teka-teki ini secara alami para pelajar akan terdorong untuk memecahkan teka-teki itu. Dengan cara ini diyakini bahwa para pelajar dapat menjadi semakin sadar akan proses penelitian yang bersifat ilmiah. Yang paling penting, demikian menurut Suchman sebagai pengembang model ini, menyajikan kepada para pelajar suatu sikap bahwa “pengetahuan itu bersifat tentatif” artinya selalu terbuka untuk dikaji secara terus menerus.
Jadi, pada dasarnya model ini mengikuti teori Suchman sebagai berikut :
1.    Secara alami para pelajar akan mencari sesuatu segera setelah dihadapkan pada masalah,
2.    Mereka akan menjadi sadar akan tentang belajar mengenai strategi berpikir yang telah dimiliknya,
3.    Strategi baru dapat diajarkan secara langsung melengkapi strategi yang telah dimilikinya, dan
4.    Penelitian yang bersifat kerja sama akan memperkaya proses berpikir dan membantu  para pelajar untuk  belajar tentang sifat tentative dari pengetahuan, sifat selalu berkembang dari pengetahuan, dan menghargai berbagai alternative penjelasan mengenai sesuatu hal.

Sintaks
Model ini memiliki lima fase seperti berikut: (joyce dan weil, 1986:61)
Fase pertama: menghadapkan masalah
1)   Menjelaskan prosedur penelitian,
2)   Menyajikan situasi yang saling  bertentangan atau berbeda,
Fase kedua: mencari dan mengkaji data
1)   Memeriksa hakikat ob jek dan kondisi yang dihadapi,
2)   Memeriksa tampilnya masalah.
Fase ketiga:mencari data dan eksperimantasi
1)   Mengisolasi variabel yang sesuai
2)   Merumuskan hipotesis sebab akibat.
Fase keempat: mengorganisasikan, merumuskan, dan menjelaskan.
Dilakukan dengan cara merumuskan cara-cara atau aturan untuk menjelaskan apa yang dilakukan sebelumnya.
Fase kelima: menganalisis proses penelitian
 Dilakukan dengan cara menganalisis strategi penelitian untuk mendapatkan prosedur yang lebih efektif.
Sistem sosial 
Model latihan penelitian dapat diorganisasikan secara lebih terstruktur di mana guru mengendalikan keseluruhan proses interaksi dan menjelaskan prosedur penelitian yang harus ditempuh. Akan tetapi, harus tetap diperhatikan bahwa prinsip dan norma yang dikandung dalam model ini ialah kerja sama, kebebasan, intelektual, dan kesamaan derajat. Interaksi antar para pelajar harus didorong dan digalakkan. Lingkungan intelektual juga ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide yang relevan. Dalam konteks ini guru dan pelajar seyogyanya berpartisipasi atas dasar persamaan derajat dalam menghadapi suatu ide.
Prinsip pengelolaan/reaksi
1)   Pertanyaan yang diajukan harus diungkapkan dengan jelas sehingga dapat dijawab oleh para pelajar.
2)   Mintalah para pelajar untuk merumuskan pertanyaan yang kurang tepat.
3)   Jika ada butir persoalan yang tidak sahih,tunjukkan kepada para pelajar dengan jelas.
4)   Gunakan bahasa yang baik untuk melakukan proses penelitian, misalnya dengan cara menunjukkan kepada para pelajar teori mana yang memerlukan percobaan.
5)Cobalah berikan suasana kebebasan intelektual dengan cara tidak menilai teori yang diajukan oleh para pelajar.
6)Berikan dorongan kepada para pelajar untuk merumuskan pernyataan tentang toeri dan selanjutnya memberikan dukungan untuk melakukan perumusan generalisasi.
7)   Berikan dorongan dan kemudahan bagi para pelajar untuk melakikan interaksi di anatar mereka.
Sistem pendukung
Sarana yang diperlukan untuk melaksanakan model ini berupa materi yang dapat dikonfrontasikan, guru yang mampu mengerti proses intelektual dan strategi penelitian, dan sumber bahan yang mampu memberikan masalah-masalah menantang bagi para pelajar untuk melakukan penelitian.
Model Sinektiks
Tujuan dan Asumsi
Gordon dalam joyce dan weil (1986:164-165) mendasarkan model sinektis pada empat ide menentang pandangan lama tentang kreatifits:
1.    Kreativitas sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua orang setiap hari bergulat dengan masalah yang menuntut kreativitas dalam berbagai bidang kehidupan. Gordon menitikberatkan kreativitas sebagai salah satu baagian dari pekerjaan dan waktu senggang sehari-hari. Oleh karena itu model ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah, mengekspresikan sesuatu secara kreatif, menunjukkan empaty, dan memiliki wawasan sosial. Di samping itu ditekankan  pula makna ide-ide yang dapat diperkuat melalui aktivitas yang kreatif dengan cara kita melihat sesuatu lebih luas.
2. Proses kreativitas bukanlah hal yang misterius. Ia dapat dipaparkan, karena itu sangat mungkin untuk melatih seseorang secara langsung sehingga dapat meningkatkan kreativitasnya. Gordon percaya bahwa seseorang dapat memahami inti dari proses kreatif dan ia akan dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari secara merdeka sebagai anggota masyarakat.proses pengembangan kreativitas ini dapat dilakukan dalam suasana persekolahan.
3.  Penemuan yang kreatif pada hakikatnya sama dalam berbagai bidang dan ditandai oleh proses intelektual yang melatarbelakangi. Diyakini oleh gordon, bahwa proses berfikir mencipta dalam kiat atau seni erat hubungannya dengan proses berfikir dalam ilmu.
4. Penemuan yang kreatif dari individu dan kelompok pada dasarnya serupa. Individu dan kelompok membangkitkan ide dan hasil dalam bentuk yang serupa.
Inti dari model sinektik ialah Aktivitas metapora  yang melupiti  analogi pelsonal, analogi langsung, dan konlik yang dipadatkan oleh joyce dan weil,( 1986: 166-168). Kegiatan metaporis bertujuan menyajikan perbedaan  konseptual antara diri pelajar dengan objek yang dihadapi atau materi yang dipelajari. Misalnya dengan cara meminta mengandaikan sisten tubuh kita sebagai jaringan transportasi. Analogi personal dilakukan oleh para pelajar pada saat mereka meletakkan diri pada objek yang sedang dibandingkan. Misalnya dengan cara mengandaikan dirinya sebuah mobil. Dalam analogi personal ini terdapat empat tahap:
a.    Mendeskripsikan fakta mengenai orang pertama,
b.    Mengidentifikasi orang pertama dengan perasaan,
c.    Mengidentifikasikan diri pada objek, dan
d.   Mengidentifikasikan diri pada objek yang tidak hidup.
Analogi langsung merupakan perbandingan sederhana dua objek atau konsep. Fungsi dari proses ini ialah mentransformasikan sesuatu keadaan nyata pada keadaan yang lain dalam rangka memperoleh pandangan baru atau ide atau masalah baru. Sedangkan yang dimaksud dengan konflik yang dipadatkan, ialah cara mengontrakskan dua ide dengan memberi label singkat, biasanya dengan hanya dua kata, misalny “sangat galak dan sangat ramah”. Atas dasar kerangka konseptual itulah sintak dari model ini dikembangkan.
Sintaks
Model sinektis ini me miliki enam tahap:
Tahap pertama: Deskripsi kondisi saat ini
Guru meminta muridnya untuk memaparkan atau mendeskripsikan situasi yang ia amati saat ini.
Tahap kedua: Proses Analogi Langsung
Paara pelajar mengemukakan berbagai analogi atau pengandaian, kemudian memilihnya salah satu untuk dieksplorasi lebih jauh.
Tahap ketiga: Analogi personal
Para pelajar menjadikan diri sebagai analogi keadaan yang dianalogikan pada tahap sebelumnya.
Tahap keempat: Konflik yang dipadatkan
Para pelajar mengambil apa yang dipaparkan atau dideskripsikan pada fase kedua dan ketiga, kemudian membuat beberapa konflik yang dipadatkan, dan memilih salah satu.
Tahap kelima: Analogi Langsung
Para pelajar mengemukakan dan memilih Analogi langsung yang lain berdasarkan pada konflik yang dipadatkan.
Tahap keenam: Pengujian Kembali Tugas Semula
Guru mengarahkan para pelajar untuk kembali pada tugas awal atau masalah dan menggunakan analogi yang terakhir atau keseluruhan proses sintektis.
Sistem Sosial
Model ini terstruktur sedang, di mana guru mengambil inisistif menetapkan urutan dan membimbing mekanisme interaksi belajar. Guru juga membantu para pelajar  untuk mengkonseptualisasikan proses mental. Walaupun demikian, para pelajar tetap memiliki kebebasan dalam diskusi yang terbuka dan tanpa akhir atau “open-ended” pada saat mereka terlibat dalam kegiatan mertaporis.
Prinsip Pengelolaan/Reaksi
Guru mencatat seberapa jauh para pelajar secara individual terikat oleh pola berpikir yang reguler dan ia mencoba untuk menciptakan suasana psikolgi yang dapat membangkitkan respon. Adakalanya guru harus menggunakan metode yang tidak rasional untuk mendorong pelajar yang enggan melibatkan diri dalam proses metaporsis. Dalam keseluruhan proses guru harus dapat menerima respon para pelajar agar mereka merasa bahwa dalam kegiatan metaporsis itu tidak dicampuri oleh pihak di luar dirinya. Harus pula diperhatikan agar jangan sampai terjadi analisis yang bersifat premature atau terlalu cepat lahir sebelum waktunya. Dengan demikian keseluruhan proses sinektis itu akan dapt berjalan sesuai dengan jalan pikiran dan ide yang melatarbelakangi.
Sistem Pendukung
Saran yang diperlukan untuk melaksanakan model ini ialah guru yang kompeten menjadi pemimpin dalam proses sinektis. Kadang-kadang diperlukan pula sejumlah alat dan bahan atau tempat untuk membuat model analogi yang bersifat fisik. Kelas yang diperlukan, berupa ruangan yang lebih besarr yang memungkinkan terciptanyalingkungan yang kreatif melalui aktivitas yang bervariasi.
Model Pertemuan Kelas
Tujuan dan Asumsi
Glasser dalam Joyce dan Weil (1986:205)bertolak dari pemikiran bahwa pada umumnya masalah-masalah kemanusiaan merupakan kegagalan dari fungsi sosial dalam kerangka pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk mencintai dan dihargai. Kedua, kebutuhan ini berakar pada hubungan antar manusia sesuai dngan norma kehidupan kelompok. Didalam kelas rasa cinta tercermin dalam bentuk tanggung jawab sosial untuk saling membantu dan saling memperhatikan satu sama lain. Diyakini bahwa sekolah telah gagal bukan didalam menampilkan profil akademis tetapi didalam memperkuat hubungan yang penuh kehangatan, konstruktif, dan penting untuk mencapai keberhasilan. Rasa dicintai dan mencintai bagi sebagian besar manusia akan melahirkan rasa memiliki harga diri.
Asumsi yang kedua, berdasarkan konsep terapi dalam perubahan perilaku. Metode terapi yang bersifat tradisional sering bersifat tidak realistik sebagai akibat dari tidak fungsional perilaku. Glasser mencoba berusaha untuk memperbaiki penampilan dan memenuhi kebutuhan dengan cara membantu orang lain mengenai apa yang nyata, apa yang bertanggung jawab dan mana yang benar. Tujuan dari terapi ini ialah meningkatkan kemampuan untuk memnuhi komitmen pada perubahan perilaku dan dengan cara ini juga memenuhi kebutuhan emosional orang lain untuk merasa berharga, dicintai dan memiliki identitas.
Sintaks
Model ini memiliki enam tahap (Joyce dan Weil, 1986:210)
Tahap peratama : Membangun Iklim Perlibatan
1)   Mendorong setiap orang untuk berpartisipasi dan berbicara untuk dirinya sendiri.
2)   Berbagi pendapat tanpa saling menyalahkan atau saling menilai.
Tahap Kedua : Menyajikan Masalah Untuk Didiskusikan
1)   Para pelajar atau guru membawa isu atau masalah.
2)   Memaparkan masalah secara utuh.
3)   Mengidentifikasikan akibat yang mungkin timbul.
4)   Mengidentifikasi norma sosial.
Tahap Ketiga : Membuat Keputusan Nilai Personal
1)   Mengidentifikasi nilai yang ada di balik masalah perilaku dan norma sosial.
2)   Para pelajar membuat kajian personal tentang norma yang harus diikuti sesuai dengan nilai yang dimiliki.
Tahap Keempat : Mengidentifikasi Pilihan Tindakan
1)   Para pelajar mendiskusikan berbagai pilihan atau alternatif perilaku.
2)   Para pelajar bersepakat tentang pilihannya itu.
Tahap Kelima : Membuat Komentar
Para pelajar membuat komentar secara umum.
Tahap Keenam : Tidak Lanjut Perilaku
Setelah periode tertentu, para pelajar menguji efektivitas dari komitmen dan perilaku baru itu.
Sistem Sosial
Model pertemuan kelas ini diorganisasikan secara terstruktur sedang. Kepemimpinan yakni, bertanggung jawab untuk membimbing interaksi melalui tahap-tahap tersebut terletak pada tangan guru. Walaupun demikian diharapkan pula para pelajar dapat mengambil inisiatif dapat memilih topik diskusi setelah mengalami beberapa aktivitas. Walaupun tanggung jawab ada pada tangan guru, keputusan moral terletak pada diri para pelajar. Apa yang dikemukakan oleh guru pada saat mendengarkan memaparan kajian nilai para pelajar tidaklah menentu.
Prinsip Pengelola/Reaksi
Perilaku guru dibimbing tiga prinsip :
1)   Prinsip melibatkan para pelajar dengan menumbuhkan suasana hangat, personal , menarik, dan hubungan yang peka dengan para pelajar.
2)   Dengan melalui sikap yang tidak menentu, guru harus dapat menerima tanggung jawab untuk mendiagnosis perilaku para pelajar.
3)   Kelas sebagai satu kesatuan memilih dan mengikuti alternatif perilaku yang ada.
Sistem Pendukung
Yang perlu untuk melaksanakan model ini ialah guru kelas memiliki kepribadian yang hangat dan terampil dalam mengelola hubungan interpersonal dan diskusi kelompok. Ia juga harus mampu untuk menciptakan iklim kelas yang terbuka dan tidak bersifat defensif atau selalu bertahan diri dan pada saat yang bersamaan ia mampu membimbing kelompok menuju penilaian perilaku, komitmen, dan tindak lanjut dari perilaku itu.
Model Investigasi Kelompok
Tujuan dan Asumsi
Sebagaimana disarankan oleh Dewey (1916) bahwa keseluruhan kehidupan sekolah harus ditata atau diorganisasikan sebagai bentuk kecil atau miniatur kehidupan demokrasi. Untuk itu para pelajar seyogianya memperoleh kesempatanuntuk berpartisipasi dalam pembangunan sistem sosial melalui pengalaman yang secara berangsur-angsur belajar bagaimana menerapkan metode yang berwawasan keilmuan dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Dalam kerangka itu, menurut joyce dan weil (1986:228) suasana kelas merupakan analogi dari kehidupan masyarakat yang didalamnya memiliki tata tertib, dan budaya kelas, dan para pelajar berusaha untuk memelihara cara hidup yang berkembang disitu, yakni standar hidup dan pengharapan yang tumbuh dalam suasana kelas. Berkenaan dengan hal itu, para guru seyogianya berusaha untuk menciptakan suasana yang memungkinkan tumbuhnya kehidupan kelas seperti itu.
Model Belajar Mengajar  Investigasi kelompok atau “Group Investigation” mengambil model yang berlakudalam masyarakat, terutama mengenai cara anggota masyarakat melakukan proses mekanisme sosial melalui serangkaian kesepakatan sosial. Melalui kesepakatan-kesepakatan inilah cara pelajar mempelajari pengetahuan akademis dan mereka melibatkan diri dalam pemecahan masalah sosial.
Didalam model ini terdapat tiga konsep utama, yaitu penelitian atau “Inquiry”, pengetahuan atau “knowledge”, dan dinamika belajar kelompok atau “the dynamics of the learning group”. Yang dimaksud dengan penelitian ialah proses dimana pelajar dirangsang dengan cara menghadapakannya pada masalah.
Didalam proses ini para pelajara memasuki situasi di mana mereka memberikan reaksi terhapa masalah yang mereka rasakan perlu untuk dipecahkan. Masalah itu sendiri dapat timbul dari pelajar atau diberikan oleh guru. Untuk memecahkan masalah ini, sebagaimana telah dijelaskan pada sebelumnya, menurut prosedur seta persyaratan yang sudah tertentu. Yang dimaksud dengan pengetahuan ilah pengalaman yang tidak dibawa saat lahir tapi diperoleh oleh individu melalui dan dari pengalamannya baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan dinamika kelompok menunjuk pada suasana yang menggambarkan sekelompok individu saling berinteraksi mengenai sesuatuyang sengaja dilihat atau dikaji bersama. Dalam interaksi ini melibatkan proses berbagi ide dan pendapat serta saling tukar pengalaman melalui proses saling beragumentasi.
Hal-hal tersebut merupakan dasar dari model investigasi kelompok.
Sintaks
Model Investigasi Kelopok ini memiliki enam tahapan kegiatan seperti berikut:
Tahap pertama  : para pelajar berhadapan dengan situasi yang problematis
Tahap kedua  : para pelajar melakukan eksplorasi sebagai reaksi terhadap situasi  yang problematis itu.
Tahap ketiga : para pelajar merumuskan tugas-tugas belajar atau “learning task” dan mengorganisasikannya untuk membangun suatau proses penelitian.
Tahap keempat :para pelajar melakukan kegiatan belajar individual.
Tahap kelima  :para pelajar menganalisis kemajuan dan proses yang dilakukan dalam proses penelitian kelompok itu.
Tahap keenam   :melakukan proses pengulangan kegiatan atau “recycle activities

Sistem Sosial
Sistem sosial yang berlaku dan berlangsung dalam model ini bersifat demokratis yang ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan dari atau setidaknya diperkuat oleh pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar. Kegiatan kelompok yang terjadi sedapat mungkin bertolak pengarahan minimal dari guru. Dengan demikian suasana kelas akan terasa begitu terstruktur. Guru dan murid memiliki status yang sama dihadapan masalah yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. Iklim kelas ditandai oleh proses interaksi yang bersifat kesepakatan.
Prinsip Pengelolaan/Reaksi
Didalam kelas yang menerapkan model Investigasi Kelompok, guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang bersahabat. Dalam kerangka ini guru seyogianya membimbing dan mencerminkan kelompok melalui tiga tahap:
a.    Tahap pemecahan masalah
b.    Tahap pengelolaan kelas
c.    Tahap pemaknaan secara perseorangan
Tahap pemecahan masalah berkenaan dengan proses menjawab pertanyaan, apa yang menjadi haikat masalah dan apa yang menjadi fokus masalah. Tahap pengelolaan kelas berkenaan dengan proses menjawab pertanyaan, informasi apa saja yang diperlukan, bagaimana mengorganisasikan kelompok untuk memperoleh informasi itu. Sedangkan tahap pemaknaan perseorangan berkenaan dengan proses pengkajian bagaimana kelompok menghayati kesimpulan yang dibuatnya, dan apa yang membedakan seseorang sebagai hasil dari mengikuti proses tersebut. (Thelen dalam joyce dan Weil 1986: 234)
Sistem pendukung
Sarana pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan para pelajar untuk dapat menggali  berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah kelompok. Perpustakaan yang walaupun tidak serba ada, akan tetapi cukup memiliki sumber informasi yang komprehensif dengan alat abantu mengajar atau media yang relatif memadai pula.
Model Penelitian Jurisprudensial
Tujuan dan Asumsi
Model ini, sebagimana dijelaskan aoleh Joyce dan Weil (1986: 260-267) memiliki sejumlah karakteristik. Dasar pemikiran model ini ialah konsepsi tentang masyrakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai nilai sosial saling bertentangan satu dengan yang lain. Untuk memecahkan masalah yang kontroversial dalam konteks sosial yang prosuktif, para warga negara perlu mempunyai kemampuan untuk dapat berbicara kepada orang lain dan berhasil dengan baik melakukan kesepakatan dengan orang lain. Para warga negara harus mampu menganalisis secara cerdas dan mengambil contoh masalh sosial yang paling tepat yang hakikatnya berkenaan dengan konsep keadilan, hak asasi manusia yang memang menjadi inti dari kehidupan demokrasi.
Untuk dapat melakukan aktivitas tersebut diperlukan tiga kemampuan, yakni:
a.  Mengenal dengan baik nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan politik yang ada di lingkungan negaranya,
b.Memiliki seperangkat keterampilan untuk dapat digunakan untuk menjernihkan dan memecahkan masalh nilai, dan
c.Menguasai atau memiliki pengetahuan tentang masalah politik yang bersifat temporer yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan negaranya.
Yang paling tepat digunakan sebagi kajian dalam model ini ialah: konflik rasial dan etnis, konflik ideologi atau keagamaan, keamanan pribadi, konflik antargolongan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan, dan keamanan nasional. Lingkup dan tingkat kerumitan dari masing-masing bidang tersebut, tentu saja disesuaikan dengan tingkat usia dan lingkungan anak.
Sintaks
Model jurisprudensial ini memiliki enam tahp (joyce dan weil, 1986:2681) seperti berikut:
Tahap pertama: Orientasi terhadap kasus
1.    Guru memperkenalkan bahan-bahan.
2.    Guru mereview data yang tersedia.
Tahap kedua: Mengidentifikasi Isu atau kasus
1.    Para pelajar mengsintesiskan fakta-fakta kedalam isu yang dihadapi.
2.    Para pelajar memilih salah satu isu kebijaksanaan pemerintah untuk didiskusikan.
3.    Para pelajar mengidentifikasi nilai-nilai daan konflik nilai
4.    Para pelajar mengenali fakta yang melatar belakangi isu dan pertanyaan yang didesinisikan.
Tahap ketiga: Menetapkan posisi
Para pelajar menimbang-nimbang posisi atau kedudukannya. Kemudian menyatakan kedudukannya dalam konflik nilai itu dan dalam hubugannya dengan konsekuensi dari kedudukan itu.
Tahap keempat: Mengeksplorasi contoh-contoh dan pola argumentasi
1.    Menetapkan titik dimana terlihat adanya perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh.
2.    Membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan tidak diinginkan dari posisi yang dipilih.
3.    Menjernihkan konflik nilai degan melakukan proses analogi.
4. Menetapkan prioritas dengan cara membandingkan niali yang satu dengan nilai yang lain dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai dan merusakkan nilai yang lainnya.
Tahap kelima: Mejernihkn dan menguji Posisi
1.   Para pelajar menyatakan posisinya dan memberikan rasional mengenai posisinya itu, dan kemudian menguji sejumlah situasi yang serupa.
2.    Para pelajar meluruskan posisinya.
Tahap keenam: Mengetes asumsi faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluluskannya
1.    Mengidentifikasi asusmsi faktual dan menetapkan sesuai tidaknya
2.    Menetapkan konsekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dari konsekuensi itu.
Sistem Sosial
Struktur dari model ini bervariasi mulai dari yang terstruktur rendah sampai pada yang terstruktur tinggi. Secara umum, guru memulai membuka tahapan dan bergerak dari tahap satu ke tahap yang lainnya tergantung pad kemampuan para pelajar untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya untuk setiap tahapan. Setelah para pelajar mengalami satu kali proses yurisprudensial, diharapkan masing-masing akan dapat melakukannya tanpa bantuan dari oarang lain.
Prinsip Pengelolaan/Reaksi
Reaksi guru, terutama yang terjadi  pada tahp keempat dan kelima tidak bersifat evaluatif dan tidak bermakna menyetujui atau tidak menyetujui. Apa yang dilakukan oleh guru dalam hal ini hanyalah berupa, reaksi terhadap komentar para pelajar dengan cara memberikan pertanyaan mengenai relevansi, keajekan, kekhususan, atau keumuman, dan kejelasan secara definisi. Untuk dapat memerankan hal tersebut, guru harus dapat mengantisipasi niali yang diajukan oleh para pelajar dan berkenaan dengan hal itu guru harus siap untuk menantang dan melacaknya lebih jauh. Peranan guru dalam model ini lebih mendekati pada metode dialog gaya sokrates yang memiliki ciri dialektis.
Sistem Pendukung
Bahan utama yang diperlukan dalam model ini adalah sumber-sumber dokumen yang relevan dengan masalah. Untuk itu seyogianya disediakan sumber-sumber yang dipublikasikan secara resmi mengenai kasus-kasus yang aktual. Atau dapat pula guru mengembangkan dengan cara merangkum informasi mengenai kasus-kasus dari berbagai sumber informasi yang sangat langka, atau yang memang sukar diperoleh oleh para pelajar. Di dalam menerapkan model ini perlu diperhatikan hal-hal, seperti tingkat usia anak, dan lingkungan belajar yang ada.
Model Latihan Laboratories
Tujuan dan Asumsi
Model ini bertolak dari konsep “T-Group Experience” yang menitikberatka pada proses intrapersonal, interpersonal. Dinamika kelompok, pengarahan sendiri. Lebih jauh ditegaskan oleh joyce dan Weil (1986:279: 283)Bbila proses intrapersonal diberi tekanan tujuan yang akan dicapai ialah pengetahuan sendiri atau “self-knowledge”. Memperoleh wawasan terhadap perilaku dan reaksi seseorang, khususnya dengan cara memperoleh umpan balik dari orang lain., merupakan tugas belajar atau “learning task”. Proses interpersonal memusatkan perhatian pada dinamika hubungan antarindividu yang berupa hubungan mempengaruhi, umpan balik, kepemimpinan, komunikasi, penyelesaian konflik, memberi dan menerima bantuan, kekuasaan dan kontrol. Tujuan yang lainnya adalah mengerti akan kondisi dan kemudahan atau hambatan terhadap berfungsinya kelompok. Kesemua tujuan itu akan dicapai dengan cara meningkatkan kesadaran, mengubah sikap, menuju perilaku yang baru. Semangat untuk meneliti atau melakukan proses inquiry sangat penting dalam keseluruhan proses pencapaian tujuan model ini.
Model Latihan Laboratories ini memiliki empat elemen dasar. Pertama, situasi yang kurang bertujuan, kurang terpimpin, dan kurang tersusun acarnya. Disini kekaburan dari situasi yang menimbulkan ketegangan, dan memungkinkan para pelajar memberikan respon terhadap keadaan itu yang pada akhirnya dilakukan dengan pengarahan. Kedua, orientasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan kelompok. Ketiga, dan yang menjadi bahan analisis adalah pengalaman dan umpan balik yang diperoleh para pelajar pada saat mereka belajar bersama. Yang terakhir, para anggota kelompok dan pelatih seyogianya melaksanakan peranan sebagai pengamat yang terlibat atau “participant observer”.
Sintaks
Model ini memiliki tahapan kegiatan yang ketat. Tahapan kegiatan yang dikembangkan bervariasi sesuai dengan rancangan pertemuan laboratories sendiri. Biasanya Strutur T-Group merupakan sruktur yang paling utama. Struktur T-Group ini meliputi dua tahap utama dengan tahapan yang lebih kecil untuk masing-masing tahap utama.
Sistem Sosial.
Setelah guru membangun situasi yang membinggungkan, guru sebagai pelatih menjelaskan bahwa ia tidak akan berfungsi sebagai pemimpin tapi sebagai anggota kelompok. Disini, struktur tidaklah nampak, dan kelompok harus bertanggung jawab untuk mengarahkan pertumbuhannya sendiri. Memang iklim belajar dalam T-Group ini merupakan situasi yang sangat mendukung dan menciptakan proses belajar yang bersifat kerjasama, namun masih tetap dalam batas yang dapat di toleransi.
Prinsip pengelolaan/reaksi
Pelatih, dalam hal ini guru memegang berbagai peranan dalam T-Group ini, yakni sebagai : pengamat yang terlibat, anggota kelompok, pemberi contoh, dan sebagai meditor atau perantara. Di dalam melakukan modelasi ini kelompok akan sangat tergantung pada model prilaku kelompok yang baik seperti : terbuka, jujur, terarah, semangat belajar yang tinggi, mau dan mampu memberi dan menerima umpan balik, dan bersifat mendukung.
Sistem pendukung
Sarana pendukung yang di perlukan dan paling utama ialah guru pelatih yang berpengalaman dalam model ini. Model ini dapat dilaksanakan dalam situasi kelembagaan, situasi kelas, dan situasi yang diintegrasikan dengan kehidupan sehari-hari.
Model Penelitian Ilmu Sosial
Tujuan dan Asumsi
Menurut Massialas dan Cox dalam Joyce dan Weil (1986:294) suasana kelas yang bersifat reflekti memiliki tiga karakteristik utama:
1.    Aspek sosial dari kelas dan keterbukaan dalam diskusi
2.    Penekanan pada hipotesis sebagai fokus utama, dan
3.    Penggunaan fakta sebagai bukti.
Sintaks
Model ini memiliki enam tahap sebagai berikut:
1.Orientasi sebagai langkah untuk membuat para pelajar menjadi peka terhadap masalah dan dapat merumuskan masalah yang akan menjadi pusat penelitian.
2. Perumusan hipotesis yang akan digunakan sebagai pembimbing atau pedoman dalam melakukan penelitian,
3. Penjelasan dan pendefinisian istilah yang ada dalam hipotesis,
4.Eksplorasi dalam rangka menguji hipotesis dalam kerangka validasi dan pengujian konsistensi internal sebagai dasar proses pengujian,
5.Pembuktiaan dengan cara mengumpulkan data yang bersangkutan paut dengan esensi hipotesis,
6.Merumuskan generalisasi berupa pernyataan yang memiliki tingkat abstraksi yang luas yang mengaitkan beberapa konsep yang erat keitannya dengan hipotesis.
Sistem Sosial
Model ini diorganisasikan secara terstruktur sedang. Guru mengambil inisiatif untuk meneliti dan memandu para pelajar dari tahap lainnya. Par pelajar dalam melakukan proses penelitian itu akan sangat tergantung pada kemampuan dalam penelitian, dan harus memikul tanggung jawab untuk mengikuti proses dari tahap satu sampai tahap akhir.

Prinsip Pengelolaan/Reaksi
Dalam keseluruhan tahap, guru lebih berfungsi sebagai konselor yang bertugas membantu para pelajar untuk menjernihkan kedudukannya, memperbaiki proses belajar, dan membuat dan melaksanakan rencana. Guru bertugas membantu para pelajar dalam penggunaan bahasa yang jelas, logika yang nalar, objektivitas, pengertian tentang asumsi, dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. Akibat dari tugas tersebut, guru lebih memiliki peranan yang bersifat reflektif dimana ia membantu para pelajar memahami mereka sendiri dan mampu menemukan jalan pemikirannya sendiiri. Dengan demikian guru selalu bertindak sebagai penjernih, pengarah, konselor, dan instruktur.
Sistem Pendukung
Sarana yang diperlukan dalam melaksanakan model ini terutama, guru yang yakin bahwa pengembangan cara yang luwes dalam memecahkan masalah kehidupan, sumber kepustakaan yang tak terbatas, dan akses pada pendapat dan sumber di luar sekolah merupakan sarana belajar yang baik. Lingkungan belajar yang kaya dengan informasi sangat diperlukan sehingga memungkinkan par pelajar dapat melakukan proses penelitian dengan baik.

Model Kontrol Diri
Tujuan dan Asumsi
Para Teoretis perilaku melihat perilaku sebgai fungsi dari lingkungan langsung yang secara khusus memberikan rangsangan dan penguatan. Ciri yang paling esensial ialah hubungan antara respon dan stimulus yang diberi penguatan.  Penguatan hanya diberikan apabila telah ada respon. Kondisi ini disebut “contingent” atau tergantung pada pengelolaan ketergantungan pada atau “contingency management” yang  menjadi ini dari model Kontrol Diri, merupakan usaha yang sistematis untuk memberikan rangsangan yang bersifat menguatkan yang diberikan pada saat-saat tertentu setelah munculnya respon. Orang yang membangun hubungan kontingensi antara stimulus dan respon ini harus menyadari akan adanya respon yang memang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Disamping itu juga harus disadari bahwa stimulus yang bersifat menggali respon sangatlah penting.
Pengelolaan proses kontingensi ini bertolak dari prinsip “operant conditioning”. Dalam prinsip ini terlibat peranan “reinforcer” yaitu sesuatu yang dapat mempertinggi respon. Respon yang diharapkan dapat diberikan penguatan yang bersifat positif maupun negatif. Penguatan positif ialah tanggapan yang diberikan yang bersifat menambah sesuatu pada suasana, seperti dengan tersenyum, atau mengacungkan ibu jari. Peguatan dianggap negatif bila yang diberikan itu mengurangi suasana yang ada yang melahirkan respon. Penguatan dapat bersifat material, sosial, dan aktivitas.
Tujuan utama dari program pengelolaan kontingensi ialah dapat ditransfernya suatu perilaku kedalam situasi yang lain. Termasuk dalam tujuan ini adalah keawetan atau “durability” dari perilaku. Perilaku baru yang diadaptasikan selanjutnya akan menjadi bagian intrinsik dibawah kontrol diri dan pemantauan perseorangan. Pengelolaan kontingensi ini dapat digunakan untuk mengurangi perilaku yang salah kaprah atau “maladaptive behavior” dan model perilaku yang digunakan untuk mengembangkan keterampilan yang baru. Model ini terutama, sangat tepat digunakan untuk mengembangkan perilaku baru seperti: keterampilan akademis, keterampilan sosial, dan keterampilan mengelola diri. Selain itu dapat juga digunakan sebagai alat untuk mengubah respon yang bersifat emosional, seperti rasa takut atau rasa cemas.

Sintaks
Model ini memiliki lima tahap (Joyce dan Weil,1986:347) seperti berikut :
Tahap pertama: Perumusan performansi akhir
1.    Mengidentifikasi dan mendefinisikan perilaku yang menjadi sasaran,
2.    Merumuskan secara khusus perilaku akhir
3.    Mengembangkan rencana untuk mengulur dan mencatat perilaku.
Tahap kedua: Mengkaji perilaku
Mengamati, dan mencatat kekerapan perilaku dan jika perlu, hakikat dan konteks dari perilaku itu.
Tahap ketiga: Merumuskan Kontingensi
1.    Membuat keputusan mengenai lingkungan
2.    Memilih sarana penguat atau “reinforcers” dan pola pemberian penguatan,
3.    Menuntaskan perencanaan bentuk perilaku akhir.
Tahap keempat: Melembagakan Program
1.    Menata lingkungan,
2.    Memberikan pengantar bagi para pelajar
3.    Memelihara penguatan dan melaksanakan jadwal atau pola penguatan
Tahap kelima: Mengevaluasi Program
1.    Mengukur respon yang diharapkan,
2.    Membangun kembali kondisi yang lama, mengukur dan mengembalikan para program kontingensi.
Sistem Sosial
Sistem sosial yag perlu dibangun untuk perilaku yang khusus lebih bersifat sangat terstruktur. Guru berfungsi sebagai pengendali sistem penguatan dan lingkungan. Aspek sosial dari model ini lebih bersifat kesepakatan, dalam arti sambil berjalan dapat ditumbuhkan. Demikian juga dalam pola dan dan jadwal pemberian penguatan, guru dapat melakukan kesempatan dengan para pelajar.

Prinsip Pegelolaan/Reaksi
Prinsip pengelolaan/reaksi guru terhadap para peljar didasarkan pada prinsip “operant conditioning dan pengelolaan kontingensi. Secar umum, perilaku yang tidak tepat kadang-kadang diabaikan. Sedangkan perilaku yang diinginkan seyogianya dikuatkan.
Sistem Pendukung
Saran yang diperlukan untuk melaksanakan model ini bervariasi dari situasi kesituasi. Program yang bersifat sederhana mungkin tidak memerlukan sarana pendukung. Sedang program yang bersifat kompleks, memerlukan perencanaan dan alat yang lebih memadai. Guru yang mengembangkan program ini perlu melakukan perencanaan yang cermat, sabar, dan tetap ajeg.
Model lain yang berkenaan dengan pengelolaan perilaku ini ialah Model “self-control”. Prinsip-prinsip “operant conditioning” yang dipakai dalam “contingency model” juga digunakan dalam model ini, terutama mengenai penegendalian stimulus dan penguatan yang bersifat positif. Perbedaannya, dalam model ini peranan utama lebih banyak pada participan. Kunci utama dalam model ini ialah dalam pengendalian rangsangan yang berbentuk mengubah lingkungan.hal ini dapat dilakukan secara fisik seperti dengan mematikan televisis yang sedang ditonton. Dalam membangkitkan rangsangan, dapat digunakan respon yang paling berbeda atau bertentangan dengan pemikiran. Proses pembentukan perilaku sama-sama berlaku dalam model kontrol diri ini
Sintaks
Model ini memiliki empat tahp seperti berikut (Joyce dan Weil,1986:363)
Tahap pertama: Memperkenalkan prinsip berlaku
1.    Mengkomunikasikan prinsip bahwa kontrol diri merupakan fungsi dari lingkungan
2.    Menjelaskan prinsip-prinsip khusus pengotrolan diri
3.    Membangun kemauan untuk berpartisipasi
Tahap kedua: Membangun Landasan Berpijak
1.    Merumuskan dengan jelas target perilaku yang khusus
2.    Menetapkan langkah dan jadwal pengukuran
3.  Melakukan pengukuran, mencatat kendali rangsangan, memberikan penguatan, dan memberikan respon yang menantang.
Tahap ketiga : Menyusun Program kontrol diri
1.    Menetapkan lingkungan yang akan menjadi rangsangan, dan penguat yang akan dipakai.
2.    Merumuskan tujuan jangka pendek dan jangka panjang
3.    Membuat program tertulis, dan
4.    Melakukan kesepakatan melalui pertemuan yang dijadwalkan.
Tahap keempat: Memantau dan memperbaiki Program
1.    Melibatkan para pelajar dalam program.
2.  Melakukan pertemu periodik dengan guru pelatih untuk mereview kemajuan yang dicapai dan memperbaiki program, jika memang diperlukan.
Sistem Sosial
Model ini memiliki struktur yang moderat sampai pada struktur yang rendah. Walaupun guru memiliki peranan dalam mengambil inisiatif, pada akhirnya para pelajar yang melakukan pengendalian dan pemeliharaan berjalannya kegiata-kegiatan. Dari kegiatan-kegiatan itu, mungkin sebagian melakukan secara mandiri, sebagian lagi secar bersama. Yang harus dicatat, ialah bahwa dalam model ini program yang dilaksanakan merupakan hasil kesepakatan guru dan para pelajar.
Prinsip Pengelolaan/Rekasi
Guru dalam model ini memilki peranan peting yang menentukan dalam keseluruhan program. Secara rinci, dapat dikemukakan bahwa guru seyogianya:
1.    Memberi semangat kepada para pelajar
2.    Menyadari kelemahan dari lingkungan yang dijadikan rangsangan.
3.    Menjamin tersusunya rencana yang realistik,
4.    Membantu para pelajar dalam menerapkan prinsip perilaku tertentu.
System pendukung
Model ini tidak menuntut sarana pendukung yang sangat khusus.
Model Simulasi
Tujuan Dan Asumsi
Simulasi sebagai model belajar mengajar merupakan penerapan dari prinsipcybernetics” dalam dunia pendidikan para ahli psikologi sibernetika membbuat analogi antara manusia dengan mesin dan megkonseptualisasikan para pelajar sebagai system umpan balik yang mengatur sendiri. Para ahli psikologis sibernetika ini menafsirkan manusia sebagai system kendali yang mampu membangkitkan gerakan dan mengendalikan sendiri melalui mekanisme umpan balik. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa prilaku manusia memiliki pola gerakan seperti berfikir, berperilaku simbolik, dan berprilaku nyata. Dalam suatu situasi yang khusus, individu memodifikasi perilakunya sesuai dengan umpan balik yang diterima dari lingkungan nya. Gerakan dan perilakunya itu disesuaikan dengan umpan balik yang diterima dari lingkunganya. Hal ini dimungkinkan karena kemampuan gerakan sensorinya menjadi dasara dari penerimaan umpan balik itu.
Bertolak dari prinsip itu, model simulasi diterapkan dalam dunia pendidikan dengan tujuan untuk mengaktifkan kemampuan, yang dianalogikan dengan proses sibernetika itu. Proses simulasi ini dirancang agar mendekati kenyataan dimana gerakan yang dianggap kompleks sengaja dikontrol. Misalnya, dalam hal proses simulasi itu dilakukan dengan menggunakan simulator.
Sintaks
Model ini memiliki tahap sebagai berikut(Joyce dan weil 1986:378)
Tahap pertam: orientasi
1.    Menyajikan berbagi topic simulasi dan konsep-konsep yang akan diintegrasikan dalam proses simulasi,
2.    Menjelaskan proses simulasi dan permainan
3.    Memberikan gambaran tekhnis secara umum tentang proses simulasi.
Tahap kedua : Latihan bagi peserta
1.    Membuat scenario yang berisi aturan, peranan, langkah, pencatatan, bentuk keputusan yang harus dibuat, dan tujuan yang akan dicapai,
2.    Menugaskan para pemeran dalam simulasi
3.    Mencoba secara singkat suatu episode
Tahap ketiga: proses simualasi
1.    Melaksanakan aktivitas permainan dan pengaturan kegiatan tersebut,
2.    Memperoleh umpan balik dan evaluasi dari hasil pengamatan terhadap performasi pemeran
3.    Menjernihkan hal-hal yang miskonsepsional
4.    Melanjutkan permainan/simulasi
Tahap keempat: pemantapan atau Debriefing
1.    Memberikan ringkasan mengenai kejadian dan presepsi yang timbul selama simulasi
2.    Memberikan ringkasan mengenai kesulitan-kesulitan dan wawasan para peserta
3.    Menganalisi proses
4.    Membandingkan aktivitas simulasi dengan dunia nyata
5.    Menghubungkan proses simulasi dengan isi pelajaran
6.    Menilai dan merancang kembali simulasi
System social
Didalam simulasi guru sengaja memilih jenis kegiatan dan mengatur para pelajar dengan cara merancang kegiatan yang utuh dan padat mengenai suatu proses. Karena itu model ini termasuk model yang terstruktur. Namun demikian kerja sama antar peserta sangat diperhatikan. Secara keberhasilan dari model ini terkandung pada kerja sama dan kemauan dari para pelajar untuk secara bersungguh-sungguh melaksanakan aktivitas ini.
Prinsip pengelolaan/Reaksi
Dalam model ini, guru berperan sebagai pemeberi kemudahan atau fasilitator. Dalam keseluruhan proses simulasi guru bertugas dan bertanggung jawab terpeliharanya suasan belajar dengan cara menunjukkan sikap yang mendukung atau sportif dan bersifat bernilai atau evaluative. Dalam hal ini, guru bertugas untuk lebih dulu mendorong pengertian dan penafsiran terhadap isi dan makna simulasi itu.

System pendukung
Saran yang diperlukan untuk mendukung pelaksannan simulasi ini bervariasi, mulai dari yang paling sederhana dan murah samapi kepada yang paling kompleks dan mahal. Misalnya bila sarana yan g digunakan berupa simulator elektronik tentu hal ini biaya yang besar. Tetapi bila sarana yang diperlukan itu hanyalah kelereng atau kartu tentu sangat murah
Pemilihan model belajar-mengajar yang efektif
  Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan mengenai model belajar mengajar yang berlaku umum dan yang diperkirakan lebih cocok  untuk bidang pengajaran di sekolah dasar. Dalam uraian tersebut  istilah belajar-mengajar digunakan dalam penekanan yang berbeda. Sementara itu beberapa penulis seperti Borich (1988) dan juga Houston dan kawan-kawan (1989) memang menggunakan kedua istilah itu dalam pengertian yang sama untuk mengganbarkan keseluruhan prosedur yang sistematis untuk mencapai tujuan pengajaran. Menurut joyce dan weill (1986) istilah belajar-mengajar atau “model of  teaching” digunakan untuk menunjukkan sosok utuh konseptual dari aktifitas belajar mengajar yang secara keilmuan dapat diterima dan secara operasional dapat dilakukan. Karena itu dalam model selalu terdapat tujuan dan asumsi, sintaks, sistem sosial, sistem pendukung, dan dampak intruksional dan pengiring.
 Walaupan secara teoritik tersedia cukup banyak model belajar-mengajar yang dapat dipakai oleh guru, di dalam pelaksanaan pengajaran guru seyogyanya memilih model mana yang dianggap atau diperkirakan paling efektif. Menurut Houston,Clift,Freiberg,dan Warner (1988) terdapat lima faktor yang menentukan efektifitas mengajar para guru:
1.    Ekspetasi guru tentang kemampuan para pelajar yang akan dikembangkan,
2.    Keterampilan pengelolaan kelas,
3.    Jumlah waktu yang digunakan oleh para pelajar untuk melakukan tugas-tugas belajar bersifat akademis,
4.    Kemampuan guru dalam mengambil keputusan pengajaran, dan
5.    Variasi metode mengajar yang dipakai oleh guru.
Secara umum, stategi belajar-mengajar dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok strategi yakni:
a.    Strategi yang diarahkan atau “teacher-directed-strategies”
b.    Strategi yang terpusat pada pelajar atau “student-directed strategies”
 Sedangkan menurut borich (1988) mengelompokkan strategi belajar-mengjar menjadi dua kelompok strategi yaitu “direct instruction strategies”. Yang menjadi dasar pengelompokan ini ialah jenis hasil belajar yang ingin dicapai. Dalam kerangka itu, hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar,
a.    Fakta, hukum, dan urutan tindakan,
b.    Konsep, pola, dan abstraksi.
 Hasil belajar jenis pertama tercermin dari perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik taraf rendah. Sedangkan hasil belajar kedua tercermin dalam perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik taraf yang lebih tinggi.
“Directt instruction model” menurut borich (1988: 143) sangat cocok untuk mengajarkan atau mencapai hasil belajar kategori pertama. Sedang untuk mencapai hasil belajar jenis kedua diperlukan “inderct teaching strategies”. Proses belajar mengajar dengan menggunakan direct teaching strategies didominasi oleh proses penyajian isi pelajaran.
Dikaitkan dengan model belajar-mengajar  komseptual yang tersedia, kita dapat mengkaji model-model mana yang telah menitikberatkan pada strategi langsung dan yang tidak langsung, sekurang-kurangnya dari sintaks untuk masing-masing model tersebut.